Friday 27 January 2017

Kisah Shalatnya Orang-orang Shaleh 1


Shalat termasuk amalan pokok dalam ajaran Islam. Setiap pribadi berkewajiban untuk melaksanakannya, jika ia telah mukallaf dan tidak ada uzur untuk meninggalkan shalat wajib. Bahkan, shalat merupakan tolok ukur bagi amalan-amalan lainnya. Inilah amalan yang pertama akan di hisab di akhirat nanti.
Setiap pribadi Muslim seharusnya memiliki perhatian besar pada amalan ini, bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya dengan menjaga kekhusyukannya. Tidak hanya shalat fardhu, shalat-shalat sunnah pun hendaknya menjaga prioritas dalam aktivitas sehari-hari.
Para ulama dan orang-orang shaleh memiliki perhatian total terhadap shalat. Mereka menjaga kekhusyukannya, juga istiqomah dalam melakukan shalat sunnah di siang hari, lebih-lebih di malam harinya.
Kali ini penulis akan mengisahkan bagaimana orang-orang shaleh dalam mendirikan amalan shalat, serta bagaimana pula kesungguhannya dalam perkara tersebut. Semoga bisa memberikan ibrah dan motivasi kepada kita dalam melaksanakan rukun Islam yang kedua.
Cerita tentang sikap orang-orang shaleh berlanjut ke pos berikutnya, silahkan di simak!

Saking khusyuknya shalat, para ahli ibadah tidak merasakan jika rumah mereka kebakaran. Bahkan ada yang tidak mampu menyelesaikan bacaan Al-Fatihah hingga sahur.

Bagi orang-orang shaleh, menegakkan shalat bukan sekadar melaksanakan perintah. Lebih dari itu, melaksanakannya adalah kenikmatan yang amat mereka rindukan meski dilakukan dalam keadaan penuh kepayahan. Orang-orang shaleh merasa amat sedih jika tidak lagi mampu melakukan shalat, Inilah yang terjadi pada Amir bin Abdillah.
Suatu saat ketika hendak wafat, beliau menangis. Orang-orang yang datang pun bertanya, "Apakah Anda menangis karena sakit saat sakaratul maut? Amir bin Abdillah menjawab, "Aku menangis bukan karena sakitnya mati atau memberati dunia, namun karena aku tidak akan bisa lagi  mendirikan qiyamul lail di musim dingin." (Shifat ash-Shafwah, 3/202)

Begitu khusyuknya orang-orang shaleh melaksanakan qiyamul lail , waktunya pun bisa amat lama. Ini kisah tentang Manshur bin al-Mu'tamar. Tetangganya memiliki dua anak perempuan. Anak-anak itu bisa naik ke atas atap di malam hari di saat manusia terlelap dalam tidurnya. Suatu saat salah satu anak perempuan tetangga itu bertanya  kepada ibunya. "Wahai ibu, untuk apa tiang yang aku saksikan berada di atas atap si fulan itu?" Jawab sang ibu, "Wahai anakku, itu bukan tiang. Itu adalah Manshur yang sedang shalat semalam suntuk dengan satu rakaat." (Shifat ash-Shafwah, 3/113)

Kekhusyukan dalam shalat membuat para ulama dan orang-orang shaleh sama sekali tidak merasa terganggu dengan hiruk pikuk di sekitarnya. Ibnu Syaudzab pernah menceritakan tentang khusyuknya Muslim bin Yasar. Jika hendak sholat, Muslim biasanya berpesan kepada keluarganya, "Berbicaralah kalian, aku tidak akan mendengar percakapan kalian." Hingga suatu saat terjadi kebakaran di rumahnya. Ternyata Muslim tetap saja shalat. Para tetangga dan orang-orang berusaha memadamkannya hingga api pun padam. Setelah Muslim bin Yasar selesai shalat, orang-orang menceritakan peristiwa tersebut. Dengan tenang beliau menjawab, "Aku tidak merasakan." (Tarikh al-Islam, 4/45)

Hal yang sama terjadi pada Amir bin Abdillah. Ketika ia sedang melaksanakan shalat, terkadang anak perempuannya menabuh rebana. Para wanita berbicara sesuka mereka di rumahnya. Namun Amir bin Abdillah tidak mendengar itu semua. Suatu saat ada yang bertanya, apakah ada yang terlintas dalam pikirannya saat shalat? Beliau menjawab, "Ya, yakni posisiku di hadapan Allah dan tempat kembaliku menuju salah satu dari dua kampung (surga atau neraka)." (Ihya' Ulumuddin, 1/242)

Ada kisah lagi tentang Ali bin Hussain bin Ali bin Abi Thalib. Suatu saat ketika ia melaksanakan shalat, rumahnya dilanda kebakaran hebat. Orang-orang berkali-kali menyerukan, "Wahai putra Rasul, api!" Ali bin Hussain tetap tenggelam dalam shalat hingga api padam. Seseorang kemudian bertanya, "Apa yang menyebabkan engkau selamat dari api kebakaran?" Beliau pun menjawab,"Yang membuat api itu mati adalah api yang lain (neraka)." (Shifat ash-Shafwah, 2/67)
Maksudnya, karena begitu takut dengan api neraka, maka seseorang menjadi khusyuk dalam shalat. Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan pertolongan-Nya.

Kisah mengenai nikmatnya shalat orang-orang shaleh juga didapati pada masa Rasulullah SAW. Tepatnya di saat perang Dzat ar-Riqa', sebagaimana diriwayatkan Ahmad dan lainnya. Ada dua sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang sedang berjaga. Keduanya sepakat bahwa jika lelaki Anshar giliran jaga, maka lelaki Muhajirin tidur. Berikutnya akan gantian. Lelaki itu kemudian melaksanakan shalat. Rupanya salah satu pasukan musuh mengetahui dan segera melepaskan anak panah ke arah sahabat yang sedang shalat itu. Namun dengan tenang, ia mencabut anak panah itu dan terus melaksanakan shalat. Musuh kembali melepaskan anak panah. Sahabat Anshar kembali mencabutnya. Hal itu berulang sampai tiga kali, kemudian ia rukuk dan sujud. Setelah selesai shalat, sahabat Anshar membangunkan saudaranya. Mengetahui tubuh sahabatnya berdarah-darah, lelaki Muhajirin bertanya, "Subhanallah! Kenapa engkau tidak membangunkanku sejak awal kau terkena panah?" Sahabat Anshar menjawab, "Aku sedang membaca sebuah surat, dan aku enggan memutusnya." (Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah, hal 194)

Orang-orang yang shaleh yang tenggelam dalam kekhusyukan shalat itu amat bersungguh-sungguh dalam munajat. Semisal yang terjadi pada Ahmad bin Abi al-Hiwari, seorang ulama yang juga guru dari Imam Abu Dawud serta Ibnu Majah. Muhammad bin Auf al-Himshi mengisahkan tentang shalatnya ulama ini. Ia menyaksikan Ahmad saat bersama di Antharsus. Ketika melaksanakan shalat Isya', ia membaca surat al-Fatihah dan berhenti pada 'iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Tak mampu lagi meneruskannya. Muhammad kemudiam tidur. Saat Muhammad bin Auf al-Himshi terbangun sebelum sahur, ia masih mendengar Ahmad mengulang-ulang 'iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, tanpa mampu meneruskannya. Biografi Ahmad bin Abi al-Hiwari dicatat juga dalam Tarikh ash-Shufiyah dan Mihan ash-Shufiyah (Lihat Siyar A'lam an-Nubala, Thabaqat 13 hal 86-94)

Demikianlah para ulama dan orang-orang shaleh terdahulu dalam menegakkan shalat. Sama sekali tak terbebani, justru amat menikmati.

Romeltea Media
Hikmah Santri Updated at:
Get Free Updates:
*Please click on the confirmation link sent in your Spam folder of Email*

Be the first to reply!

Post a Comment

 
back to top